Mister_PT. Diberdayakan oleh Blogger.

Rekomendasi Novel

Tugas membac novel yang telah direkomendasikan bapak guru. Sungguh, kemaren saya jalan - jalan ke Madiun. Eh disana rame... ada gedung. saya masukin saja, lalu saya keluar dan sudah bawa buku ini.


Saya Bingung . . . . udah.

Teman Yang Asik Buat Santai

  Hari ini aku dan teman - teman mengikuti acara dalam rangka memperingati "Hari Kartini". Aku dan Radita T.A yang kebetulan kebagian lomba masak atau "Masak laki - laki pakai daster" lebih tepatnya. persiapan sudah mulai kami adakan sehari sebelum acara berlangsung. dari siang hari membeli kentang dan bahan lain dipasar, lalu mencari bumbu sop di indomaret enggak ada. Kacau.
  Setelah mencari bahan itu aku pergi ke rumah salah satu temanku untuk membantu kegiatan yang lain. Dan malamnya aku pergi kerumah
Radita untuk mengambil Kompor Bluegas. Dengan Arjuna S.S. sampai di rumah Radita, ia sudah menyiapkan kompor gas tadi. setelah urusan sama kompor gas sudah selesai, lanjut kami berdua (Aku & Juju) pinjam headset. Naik motor dengan telinga di sumpelin headset itu enggak enak, Iya. Lah kita enggak nyadar di belakang kita ada motor. Ya kalo si motor itu lihat, lah kalo enggak? muncrat tuh nama Binatang, Penyakit, Buah.. Wah kacau.
  Sampai di rumah Rima R.H. sudah banyak orang di sana. Duduk kedinginan sampai jam 11 malam, menunggu teman - teman yang mengerjakan Mading selesai. harus saya aku Mading yang enggak penting itu adalah hal yang paling tidak diperhitungkan. Apa jadinya hal yang konyol itu dikerjakan demikian serius, padahal di sana masih banyak hal yang lebih penting harus diselesaikan. Mading itu dikerjakan secara penuh, berkala, dan berubah.
 Esok harinya, di mana pelaksanaan lomba Kartini. aku buru - buru berangkat dan mengambil kompor kemari di rumah Rima, segaja aku titipkan, lantaran kondisi rumahku yang jauh dari sekolahan. Pelaksanaanpun tiba, ku bawa semua peralatan, panci, sendok, garpu, kompor, wajan, mangkuk, dan kawan - kawannya. dan satu lagi kawan, Royco itu ajaib. buktinya aku cuma campuri sayuran, air, sosis, telur. Lalu aku kasih Royco, jadilah Soup.

Sebuah Surat, Sebuah Hati untuk Diingat


Agung Satria Armedhia
           SENIMAN macam apa kau ini? Percuma aku memberikanmu kesempatan ini? Masih mendengung – dengung perkataan itu dalam telingaku. Sudah satu bulan aku tidak mendapat panggilan untuk manggung. Susah memang, seonggok daging yang bisanya hanya melamun setiap hari. Bali 11 Januari 1969 aku lahir. Anak pertama dari dua bersaudara. Aku paling tidak menurutku sendiri, adalah lelaki yang berjiwa seni tinggi, berdedikasi untuk menjadi seniman yang All-Out, sejak dulu. Ada satu perkataan dari temanku dulu saat aku masih kuliah dan perkataan itu membuat aku bertanya kepada diriku sendiri. “ Dasar kuli batu, tak kusangka kau juga sekeras batu!” perkataan itu menggangguku saat menuliskan not balok Richard Marx yang Right Here Waiting For You. Mengapa tak sempat aku menanyakan apa maksud perkataannya dan mengapa aku baru mempertanyakannya gumamku dalam hati.
Malam ini aku putuskan menyelesaikan pekerjaanku menulis not balok yang akan aku gunakan untuk manggung besok di Paradiso Hotel. Sembari beristirahat aku menyiapkan alat – alat yang aku perlukan saat manggung besok, Yamaha CLE19s berwarna coklat ini yang akan menemaniku diacara besok. Dengan tabung yang dibuat dengan garapan halus, freed yang diukir dengan motif bunga dengan sentuhan yang artistik, senar gitar akustik yang khas dengan 3 senar string dan 3 senar nilon menambah lantunan nada lebih menyatu dengan setiap kata yang terucap dari mulut ini. Karena semua peralatan sudah siap aku bergegas tidur agar tidak terlalu lelah besok saat acara berlangsung.
Setelah sekitar 6 jam aku terlelap dalam buaian mimpi. Aku menengok jam dindingku terlihat sudah pukul 5 pagi. Lalu aku bergegas mandi dan memakai baju yang sudah disiapkan tadi malam. Mengendarai Honda Astrea Prima aku terkesiap untuk sambutan yang meriah dari semua orang di acara nanti. Dari rumahku Paradiso Hotel sekitar 30 menit kalau motorku tidak bermasalah seperti biasanya, dengan baju merah kotak – kotak ala Jokowi, celana jeans biru yang sangat menyiksa, dan rompi hitam berbahan kulit, aku menjemput motorku yang sudah berdiri di depan garasi. Aku terlupa membawa kunci motor sehingga membuatku hilir mudik mencari kunci motor itu, 15 menit sudah waktu sia – sia hanya untuk mencari kunci motor itu. aku langsung tancap gas untuk menuju Paradiso Hotel. 30 menit kemudian aku terjebak rombongan buruh yang sedang berdemonstrasi di depan rumah Dinas Pertanian. tanpa basa – basi aku mencari jalan lain menuju Paradiso Hotel. 30 menit berlalu akhirnya sampai di Paradiso Hotel.
Lelah dengan perjalanan aku istirahat di ruang tunggu selama beberapa menit tanpa sadar aku terlelap dalam kelelahanku. Tiba – tiba aku dibangunkan oleh seorang Mahasiswa dari Universitas yang sering aku jumpai, dilihat dari warna jas almamaternya aku mengenalinya. Dengan berbisik ia mengungkapkan maksud ia membangunkanku “Pak sudah ditunggu.” Aku mahfum dengan perkataan anak ini, lantas aku membersihkan muka dan bergegas menuju ruangan si gendut Miko, sebenarnya pemilik hotel Paradiso adalah kawanku sejak SMA, entah karena apa aku selalu dibawahnya, seperti waktu SMA dulu padahal aku yang seharusnya mendapat pujian karena telah menemukan teori pada biola bahwa satu oktaf lengkap pada biola bisa didapat dengan menggeser secara konstan dari do ke re, dari re ke mi begitu seterusnya sampai do lagi. dilakukan dengan jarak, perpindahan, dan penekanan yang sesuai akan didapat satu oktaf lengkap nada biola. Itu semua ku pelajari dari mulai menggesek sesuka hati dan hanya menggesek berulang – ulang los senar pertama dan bertambah seiring berjalannya waktu, dan dulu aku berkeyakinan untuk bisa membawakan I Will dari The Beatles, dengan perjalananku membawakan tembang itu, si Miko yang telah kuajari memainkan biola dengan teori yang telah ku buat ia memaparkan kebusukannya didepan teman – teman, dan mengklaim teori itu miliknya, wedus memang. sampai sekarang masih saja dengan kebusukannya ia berhasil sukses.
Sampai aku didepan ruangannya, nampa jelas dimataku bahwa Miko sudah sukses di dunia Hotel, dengan tata ruangan yang rapi, lengkap dengan buku – buku yang tertata di depan ruangannya agar setiap tamu yang mau masuk sembari menunggu si Gendut ini mengijinkan masuk supaya tamunya bisa meluangkan waktu untuk membaca – baca buku bekasnya yang telah lama ia punya, aku duduk dengan santai di depan ruangannya dan membaca salah satu sejarah Hotel buatannya, nampak jelas kalau si Gendut ini berhasil mengelabuhi investor asing dengan sifatnya yang pandai membalikan perkataan ia berhasil, ia mengungkapkan jelas di buku ini, tanpa menutupi segala hal yang membuatnya berhasil. Tiba tiba terdengar suara dari Speaker “Kawan lama silahkan masuk” nadanya yang menggelitik, merayu seperti halnya lelaki penyuka sesama jenis, perlahan aku kembalikan buku yang telah kubaca dan masukke ruangannya, seperti biasa Miko mengubah tata ruanganya, minggu yang lalu dengan dekorasi santai serasa dihutan Amazon, dan kali ini dekorasi tata ruang yang serba putih polos, semua alat mulai dari meja, kursi, lampu, pintu, gorden, lantai, Ac, Tv, Computer, Vas, dan tak kalah menari bunganya juga putih, Simpel Design menurutku. Linglung aku dibuatnya aku tercengang dengan pakaiannya yang juga putih kecuali bagian kepala ia tak menutupinya, memang dari dulu dia adalah orang teraneh di sekolahku. Dengan tegap layaknya perwira ia datang kepadaku menjabat tanganku dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi yang empuk itu.
Batinku “kau itu tak tau apa – apa ! jangan kau berandai – andai jadi majikanku, menyuruhku kesana kemari, ingatkah kau dulu seperti apa?”

“Jadi apa keperluanmu?” tanyanya.

“Sebentar, tak sepantasnya kau mengucapkan itu, harusnya aku yang telah kau panggil tadi, kau yang undang aku kesini lalu kau tanya keperluanku?” jawabku kasar.

            Seperti biasa si Gendut diam mencerna kata – kataku. Ia memandang jauh di jendela ruangannya itu. Wajahnya serius seperti dahulu di sekolah, jika dia terlihat serius itu tandanya ia akan memutar balikan sesuatu, aku terkesiap. Akankah ia membalikan pernyataanku tadi? Tapi diamnya seperti tidak biasa lama nian ia menjaga mulutnya, ketika aku menatapnya tajam, ia malah memalingkan pendangannya. Setelah lima menit mencerna kata – kataku, aku mulai mengerti kalau ia pelupa, sontak aku minta maaf kepadanya.
“Ndut, aku minta maaf, aku lupa kau sekarang agak pelupa.”
“Oh, tak apa, sebenarnya aku bingung kenapa kau marahi aku? Sedangkan... aa sudahlah!”
Logatnya yang khas batak membuatku tertawa kecil, sejak dulu setiap ku dengar kata “aa... sudahlah” selalu aku tertawa walaupun saat ia mengatakan itu ia sedang marah, dasar pemuda. Lama kami berbincang berdua dengan kebodohan masing – masing, si gendut menuruhku langsung ke panggung utama hotel megahnya itu.
            Setelah sampai di belakag panggung aku mempersiapkan peralatan seperti biasa, dan aku dikagetkan dengan mahasiswa yang ku temui didepan tadi, tiba – tiba ia memegang pundakku dan menjulurkan tangannya, aku mahfum dengan apa yang ia maksud, ia ingin berkenalan denganku.

“ Selamat siang pak “ katanya datar.
“ Siang, kamu yang tadi membangun aku di depankan?” tanyaku serius
“ Oh, tadi. Iya benar pak” jawabnya
“ Kalau boleh saya tau, kamu ini apanya Pak Miko ya?”
“ Pak Miko, itu kan yang punya hotel ini pak? Saya bukan siapa – siapanya Pak Miko, hanya tadi waktu saya lewat koridor hotel ini, saya disuruh menemui anda” terangnya
“ Kok kamu bisa tau yang dicari aku?”
“ Oh itu, kata Pak Miko, anda bawa gitar dan gayanya kayak anak musisi gitu.” Ujarnya tenang
“ eem, jadi begitu..”
“ Ngomong – ngomong saya Jonathan Hardy Pradana, panggil saja Nathan pak”
“ Nathan, nam yang bagus, aku Arai.” Jawabku datar
“ Senang bertemu dengan anda pak, dan maaf mengganggu pak. Selamat siang” terangnya sekaligus pamitan, dan langsung pergi.

            Lama aku menanti untuk dipanggil, akhirnya namaku dipanggil sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, kutarik nafas dalam, menyimpanya di dalam dada lalu keperut dan lepaskan dengan begitu situasi nervous dengan cara ini aku sudah bisa menyembuhkan penyakit demam panggung kelas aku yang ku alami. Tibalah aku di depan ratusan undangan yang datang dan aku terkesiap melantunkan lagu yang telah ku siapkan tadi malam.

“Selamat siang semuanya.” Ujarku menyapa undangan.
“Siang!!” Antusias uandangan yang hadir membuat saya terkesiap untuk lagu ini.
“Sebuah tembang dari Richard Marx, Right Here Waiting For You untuk kalian!!”
Sorak – sorai kegembiraan terpancar dari mereka, lagu yang sudah melegenda ini hampir setiap orang yang ada disini menyanyi bersama, semua undangan berdiri dan mulai berdansa dengan pasangan mereka masing – masing.


Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you... for you...
dengan do = C aku bawakan agak berat dan akhirnya semua menikmati Right Here Waiting dari Richard Marx yang ku nyanyikan dengan penuh penghayatan dengan suara yang bercampur emosi. Maksudnya jelas agar sesuai dengan pembawaan Richard Marx, Undangan memberikan Standing Uplos kepadaku, sungguh suatu kebanggan tersendiri bagiku. Aku melihat Nathan mahasiswa yang tidak jelas kenapa ada disini tadi ternyata seorang Jurnalis dari Universitasnya, si Gendut menyalamiku tandda berterimakasih padaku dan mengajakku menikmati hidangan yang sudah tersedia. Saat aku menikmati minum dan berbincang – bincang dengan si Gendut dan tamu istimewanya,
“Pak Arai?” sesosok wanita memanggilku dengan lembut.
“Iya? Maaf anda siapa ya?” tanyaku bingung.
“Nama saya Evita Larasati pak, saya sekertaris pak Miko” jawabnya santun.
“Eh.. Mik, ni sekertarismu?” tanyaku pada Miko.
“Iya, memang ada apa?” tanyaya datar.
“Cantik, bukan main..” bisiku pada Miko.
“Wah kau suka padanya? Dia masih single kok cari hatinya jika kau mau!” tegasnya padaku.
Setelah lama dengan Evita berbincang – bincang soal karier aku menawarkannya jalan ke taman hotel, lantas ku lihat wajahnya, ia menaikan alis kanannya dengan senyum nakal aku tau kalau dia menyetujuinya. Jalan – jalan di koridor membuatku semakin dekat dengan Evita, kuceritakan hal – hal menarik dari kehidupanku, dari mulai awal manggung di cafe – cafe yang cuma dibayar rokok, padahal aku tidak merokok, dan dibayar dengan kemarahan setelah satu orang di cafe itu membuat onar, semua ku ceritakan padanya, lalu kulihat lama sosok Evita, Evita pakai kacamata, cantik, cerdas terlihat dari cara bicara dan wajahnya, wajahnya gabungan antara Lisa Loeb sama Kate Winslet, bodinya persis Kate Winslet. Evita punya inner beauty, kenapa begitu? Saat aku tadi dipanggil aku tau kalau yang memanggilku bukan wanita biasa, dia juga punya semacam karisma yang bikin orang menengok ke arahnya. Sampai aku di kamarku, aku ucapkan salam perpisahan sementara kepada Evita dan dia mafhum jika aku mau istirahat.
Di kamar seluas sepuluh meter persegi ini aku membayangkan sosok Evita yang entah dari zaman apa, datang kepadaku dan hanya beberapa jam bisa langsung akrab layaknya seorang teman dekat yang sudah lama kenal, aku membayangkan Evita saat dia tersenyum, tiba – tiba aku teringat kata – kata si gendut “Ahh.. Sudahlah”, kalimat yang menurutku selalu mengagalkan lamunanku. Ganti baju lantas aku tergeletak di kasur yang langsung mengarah ke arah terbenamnya matahari, terlihat sore matahari mulai meninggalkan bumi, dan sorepun berganti menjadi malam, setelah Adzan Magrib seseorang mengetuk pintu kamarku, ternyata Evita yang mengantar makan malam ke kamarku, kulihat mukanya pucat pasi, dan tak seperti biasa ia seperti menghindar dariku, jangan – jangan dia sakit? pikirku. Ku pandangi dia lama saat berjalan meninggalkan kamarku, saat aku mau masuk kudengar suara piring pecah, sontak tanpa berpikir aku berlari tergopoh – gopoh ternyata apa yang kulihat benar dengan pikiranku tadi, Evita pingsan. Aku langsung membawanya ke ruangannya bersama Miko yang telah aku panggil tadi, serta beberapa karyawan dan aku melihat sosok Nathan tadi mendesak – desak ingin mengetahui apa yang terjadi, tak seperti orang yang tidak pernah kenal, terlihat pikiran Nathan terombang – ambing. Lantas aku membawa nathan ke ruang tamu tempat pertama aku bertemu dengannya, dia menjelaskan keadaan Evita. Aku tercengang ketika ia mengatakan dia adalah kekasih Evita, tapi setelah acara usai Nathan memutuskan hubungannya dengan Evita, pantas saja ia terlihat pucat saat mengantarkan makan malam tadi dan terlihat menghindar dariku, ku bujuk Nathan agar memberikan alasan secara konkrit kepadaku agar bisa ku jelaskan kepada Evita.
Malam berlalu, aku masih menunggu Evita siuman, dengan si gendut yang tidur terlelap, aku masih meikirkan perkataan Nathan. Aku mempertimbangkan keadaan Evita yang segitunya, padahal hanya seorang lelaki ia bisa jatuh pingsan begini. Ak melihat tangan Evita bergerak dan terlihat ia mau bangun, Alhamdulillah. Akhirnya Evita siuman kubawakan segelas air putih semoga bisa meringankan pikirannya, aku duduk disampingnya dan menanyakan apa yang sudah terjadi padanya. Tanpa paksaan sedikitpun ia menjelaskan padaku dengan nada kesedihan yang amat mendalam.
“Rai, sebenarnya aku sudah lama menjalin hubungan dengan Nathan, tapi beberapa hari ini ia tidak menjawab SMS ku dan tidak mengangkat Teleponku, aku khawatir ada apa – apa, lantas aku tak tau dari angin mana, dia datang tadi malam. Aku melihat wajahnya datar, dan menghilang sesaat aku menerima telepon dari Pak Miko, aku takut. Tapi aku harus memfokuskan pada acara tadi, tak sengaja tadi setelah acara usai, tanganku ditarik keras oleh Nathan, tiba – tiba dia marah marah kepadaku, aku tak tau apa yang telah terjadi. Dan tanpa ku sengaja aku menampar Nathan, dan dia memutuskan hubungan kami, sedih”
Tak terkira ternyata kesalahpahaman antara seseorang akan berakhir seperti ini, namun aku mengambil kesimpulan bahwa Evita memang tak tau apa – apa, dan aku memotivasi Evita agar snantiasa profesional dengan pekerjaannya, karena dia masih cukup muda, masih banyak waktu untuk memikirkan itu. Dan Evita memelukku dengan penuh kesedihan, menangis dalam pelukanku. Aku hanya bisa diam dan membuatnya menyudahi kesedihannya. Sebenarnya aku ingin menjadi pengganti Nathan tapi aku mahfum tak ada seorang wanita yang mampu membuang masa lalunya begitu saja pastinya ia butuh waktu, tapi aku belum siap jika aku harus ungkapkan saat ini juga.
Malam itupun berlalu, dan pagi menjemputku artinya aku sudah harus berkemas untuk pulang ke rumah, aku mencoba memberanikan diri mendekati Evita lagi, tapi rupa – rupanya aku masih belum bisa measuk ke hatinya, tapi tetap aku harus mengatakannya.
“Evita boleh aku bicara sebentar kepadamu?”
“Boleh Rai, dimana di ruang tamu saja”
“Sebentar ya? “
“oke” bergegas aku ke ruang tamu dan menunggu Evita datang
            Beberapa saat kemudian kulihat Evita datang, dan langsung duduk dengan senyuman yang agaknya sudah menunjukan kemajuan. Terlihat dari caranya tersenyum dan bicaranya aku tahu bahwa dia sudah mencoba melupakan Nathan. Aku menyaiapkan diri dengan beberapa celaan darinya, penghinaan darinya, sangkalan darinya, semua aku sudah terkesiap, dan sesaat kemudian aku mulai memberanikan diri mendekatkan duduku disampingnya.
“Evita, bolehkan aku bertanya hal yang kiranya membuatmu sedih kembali?” tanyaku penuh arti.
“Apa itu Rai?” ia terlihat bingung dengan perkataanku.
“Evita a..aaku ..suka padamu! Apa kau mau menjadi istri dari anak – anakku?”
“ARAI!! Apa kau tau aku baru saja terkena musibah, lalu kau datang menambah pikiranku?” Evita muntab karena perkataanku.
“Seandainya kau tolak, aku tak marah kepadamu, ungkapkan saja!” aku meyakinkannya.
“Rai!!, kau tahu kan kemarin aku bagaimana?” airmata menggenang, pipinya dibasahi oleh airmata kesedihan yang begitu amat dalam.
Tanpa berpikir panjang, ku buka tas gitarku dan membawakan sebuah tembang dari Peterpan, aku berpikir semoga lagu ini sesuai dengan situasiku saat ini, dan hanya lagu ini yang bisa ku mengucapkan, menerangkan, memberitahukan maksudku padanya. Sebuah karya dari Peterpan dalam Album Bintang di Surga, sebuah lagu yang berjudul “Yang Terdalam”, ku latunkan dengan penuh penghayatam dan tetesan air mata, walaupun aku hanya 1 hari mengenalnya, aku merasa dekat sedekat kakiku dengan bumi, kuharap Evita mau mengerti dan melihatku disini.


   Takkan lelah aku menanti
   Takkan hilang cintaku ini
   Hingga saat kau tlah kembali
   Kan kukenang di hati saja

   Kau telah tinggalkan
   Hati yang terdalam
   Hingga tiada cinta
   Yang tersisa di jiwa

            Semua karywan di ruang tamu diam gagap gampita, sunyi sepi setelah kulantunkan tembang bang Aril, dan kuharap Evitapun mau menerima suratku, hanya kukatakan beberapa patah kata pada surat itu beserta alamat rumahku dan aku hanya bisa meninggalkan sebuah surat, sebuah hati untuk diingat.