Home » Archives for April 2013
Teman Yang Asik Buat Santai
Hari ini aku dan teman - teman mengikuti acara dalam rangka memperingati "Hari Kartini". Aku dan Radita T.A yang kebetulan kebagian lomba masak atau "Masak laki - laki pakai daster" lebih tepatnya. persiapan sudah mulai kami adakan sehari sebelum acara berlangsung. dari siang hari membeli kentang dan bahan lain dipasar, lalu mencari bumbu sop di indomaret enggak ada. Kacau.
Setelah mencari bahan itu aku pergi ke rumah salah satu temanku untuk membantu kegiatan yang lain. Dan malamnya aku pergi kerumah
Radita untuk mengambil Kompor Bluegas. Dengan Arjuna S.S. sampai di rumah Radita, ia sudah menyiapkan kompor gas tadi. setelah urusan sama kompor gas sudah selesai, lanjut kami berdua (Aku & Juju) pinjam headset. Naik motor dengan telinga di sumpelin headset itu enggak enak, Iya. Lah kita enggak nyadar di belakang kita ada motor. Ya kalo si motor itu lihat, lah kalo enggak? muncrat tuh nama Binatang, Penyakit, Buah.. Wah kacau.
Sampai di rumah Rima R.H. sudah banyak orang di sana. Duduk kedinginan sampai jam 11 malam, menunggu teman - teman yang mengerjakan Mading selesai. harus saya aku Mading yang enggak penting itu adalah hal yang paling tidak diperhitungkan. Apa jadinya hal yang konyol itu dikerjakan demikian serius, padahal di sana masih banyak hal yang lebih penting harus diselesaikan. Mading itu dikerjakan secara penuh, berkala, dan berubah.
Esok harinya, di mana pelaksanaan lomba Kartini. aku buru - buru berangkat dan mengambil kompor kemari di rumah Rima, segaja aku titipkan, lantaran kondisi rumahku yang jauh dari sekolahan. Pelaksanaanpun tiba, ku bawa semua peralatan, panci, sendok, garpu, kompor, wajan, mangkuk, dan kawan - kawannya. dan satu lagi kawan, Royco itu ajaib. buktinya aku cuma campuri sayuran, air, sosis, telur. Lalu aku kasih Royco, jadilah Soup.
Setelah mencari bahan itu aku pergi ke rumah salah satu temanku untuk membantu kegiatan yang lain. Dan malamnya aku pergi kerumah
Radita untuk mengambil Kompor Bluegas. Dengan Arjuna S.S. sampai di rumah Radita, ia sudah menyiapkan kompor gas tadi. setelah urusan sama kompor gas sudah selesai, lanjut kami berdua (Aku & Juju) pinjam headset. Naik motor dengan telinga di sumpelin headset itu enggak enak, Iya. Lah kita enggak nyadar di belakang kita ada motor. Ya kalo si motor itu lihat, lah kalo enggak? muncrat tuh nama Binatang, Penyakit, Buah.. Wah kacau.
Sampai di rumah Rima R.H. sudah banyak orang di sana. Duduk kedinginan sampai jam 11 malam, menunggu teman - teman yang mengerjakan Mading selesai. harus saya aku Mading yang enggak penting itu adalah hal yang paling tidak diperhitungkan. Apa jadinya hal yang konyol itu dikerjakan demikian serius, padahal di sana masih banyak hal yang lebih penting harus diselesaikan. Mading itu dikerjakan secara penuh, berkala, dan berubah.
Esok harinya, di mana pelaksanaan lomba Kartini. aku buru - buru berangkat dan mengambil kompor kemari di rumah Rima, segaja aku titipkan, lantaran kondisi rumahku yang jauh dari sekolahan. Pelaksanaanpun tiba, ku bawa semua peralatan, panci, sendok, garpu, kompor, wajan, mangkuk, dan kawan - kawannya. dan satu lagi kawan, Royco itu ajaib. buktinya aku cuma campuri sayuran, air, sosis, telur. Lalu aku kasih Royco, jadilah Soup.
Sebuah Surat, Sebuah Hati untuk Diingat
Agung Satria Armedhia |
SENIMAN
macam apa kau ini? Percuma aku memberikanmu kesempatan ini? Masih
mendengung – dengung perkataan itu dalam telingaku. Sudah satu bulan aku tidak
mendapat panggilan untuk manggung. Susah memang, seonggok daging yang bisanya hanya melamun setiap hari. Bali 11
Januari 1969 aku lahir. Anak pertama dari dua bersaudara. Aku paling tidak
menurutku sendiri, adalah lelaki yang berjiwa seni tinggi, berdedikasi untuk
menjadi seniman yang All-Out, sejak
dulu. Ada satu perkataan dari temanku dulu saat aku masih kuliah dan perkataan
itu membuat aku bertanya kepada diriku sendiri. “ Dasar kuli batu, tak kusangka
kau juga sekeras batu!” perkataan itu menggangguku saat menuliskan not balok Richard Marx yang Right Here Waiting For You. Mengapa tak sempat aku menanyakan apa
maksud perkataannya dan mengapa aku baru mempertanyakannya gumamku dalam hati.
Malam ini aku putuskan
menyelesaikan pekerjaanku menulis not balok yang akan aku gunakan untuk
manggung besok di Paradiso Hotel. Sembari beristirahat aku menyiapkan alat –
alat yang aku perlukan saat manggung besok, Yamaha CLE19s berwarna coklat ini
yang akan menemaniku diacara besok. Dengan tabung yang dibuat dengan garapan halus,
freed yang diukir dengan motif bunga dengan
sentuhan yang artistik, senar gitar akustik yang khas dengan 3 senar string dan 3 senar nilon menambah lantunan nada lebih menyatu dengan setiap kata yang
terucap dari mulut ini. Karena semua peralatan sudah siap aku bergegas tidur
agar tidak terlalu lelah besok saat acara berlangsung.
Setelah sekitar 6 jam
aku terlelap dalam buaian mimpi. Aku menengok jam dindingku terlihat sudah
pukul 5 pagi. Lalu aku bergegas mandi dan memakai baju yang sudah disiapkan
tadi malam. Mengendarai Honda Astrea Prima aku terkesiap untuk sambutan yang
meriah dari semua orang di acara nanti. Dari rumahku Paradiso Hotel sekitar 30
menit kalau motorku tidak bermasalah seperti biasanya, dengan baju merah kotak
– kotak ala Jokowi, celana jeans biru yang sangat menyiksa, dan rompi hitam berbahan
kulit, aku menjemput motorku yang sudah berdiri di depan garasi. Aku terlupa
membawa kunci motor sehingga membuatku hilir mudik mencari kunci motor itu, 15
menit sudah waktu sia – sia hanya untuk mencari kunci motor itu. aku langsung
tancap gas untuk menuju Paradiso Hotel. 30 menit kemudian aku terjebak
rombongan buruh yang sedang berdemonstrasi di depan rumah Dinas Pertanian.
tanpa basa – basi aku mencari jalan lain menuju Paradiso Hotel. 30 menit
berlalu akhirnya sampai di Paradiso Hotel.
Lelah dengan perjalanan
aku istirahat di ruang tunggu selama beberapa menit tanpa sadar aku terlelap
dalam kelelahanku. Tiba – tiba aku dibangunkan oleh seorang Mahasiswa dari
Universitas yang sering aku jumpai, dilihat dari warna jas almamaternya aku
mengenalinya. Dengan berbisik ia mengungkapkan maksud ia membangunkanku “Pak
sudah ditunggu.” Aku mahfum dengan perkataan anak ini, lantas aku membersihkan
muka dan bergegas menuju ruangan si gendut Miko, sebenarnya pemilik hotel
Paradiso adalah kawanku sejak SMA, entah karena apa aku selalu dibawahnya,
seperti waktu SMA dulu padahal aku yang seharusnya mendapat pujian karena telah
menemukan teori pada biola bahwa satu oktaf lengkap pada biola bisa didapat
dengan menggeser secara konstan dari do
ke re, dari re ke mi begitu
seterusnya sampai do lagi. dilakukan
dengan jarak, perpindahan, dan penekanan yang sesuai akan didapat satu oktaf
lengkap nada biola. Itu semua ku pelajari dari mulai menggesek sesuka hati dan
hanya menggesek berulang – ulang los senar pertama dan bertambah seiring
berjalannya waktu, dan dulu aku berkeyakinan untuk bisa membawakan I Will dari The Beatles, dengan
perjalananku membawakan tembang itu, si Miko yang telah kuajari memainkan biola
dengan teori yang telah ku buat ia memaparkan kebusukannya didepan teman – teman,
dan mengklaim teori itu miliknya, wedus
memang. sampai sekarang masih saja dengan kebusukannya ia berhasil sukses.
Sampai aku didepan
ruangannya, nampa jelas dimataku bahwa Miko sudah sukses di dunia Hotel, dengan
tata ruangan yang rapi, lengkap dengan buku – buku yang tertata di depan
ruangannya agar setiap tamu yang mau masuk sembari menunggu si Gendut ini
mengijinkan masuk supaya tamunya bisa meluangkan waktu untuk membaca – baca
buku bekasnya yang telah lama ia punya, aku duduk dengan santai di depan
ruangannya dan membaca salah satu sejarah Hotel buatannya, nampak jelas kalau
si Gendut ini berhasil mengelabuhi investor asing dengan sifatnya yang pandai
membalikan perkataan ia berhasil, ia mengungkapkan jelas di buku ini, tanpa
menutupi segala hal yang membuatnya berhasil. Tiba tiba terdengar suara dari Speaker “Kawan lama silahkan masuk”
nadanya yang menggelitik, merayu seperti halnya lelaki penyuka sesama jenis,
perlahan aku kembalikan buku yang telah kubaca dan masukke ruangannya, seperti
biasa Miko mengubah tata ruanganya, minggu yang lalu dengan dekorasi santai
serasa dihutan Amazon, dan kali ini dekorasi tata ruang yang serba putih polos,
semua alat mulai dari meja, kursi, lampu, pintu, gorden, lantai, Ac, Tv, Computer, Vas, dan tak kalah
menari bunganya juga putih, Simpel Design
menurutku. Linglung aku dibuatnya aku tercengang dengan pakaiannya yang juga
putih kecuali bagian kepala ia tak menutupinya, memang dari dulu dia adalah
orang teraneh di sekolahku. Dengan tegap layaknya perwira ia datang kepadaku menjabat
tanganku dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi yang empuk itu.
Batinku “kau itu tak tau apa – apa !
jangan kau berandai – andai jadi majikanku, menyuruhku kesana kemari, ingatkah
kau dulu seperti apa?”
“Jadi apa keperluanmu?” tanyanya.
“Sebentar, tak sepantasnya kau
mengucapkan itu, harusnya aku yang telah kau panggil tadi, kau yang undang aku
kesini lalu kau tanya keperluanku?” jawabku kasar.
Seperti
biasa si Gendut diam mencerna kata – kataku. Ia memandang jauh di jendela
ruangannya itu. Wajahnya serius seperti dahulu di sekolah, jika dia terlihat
serius itu tandanya ia akan memutar balikan sesuatu, aku terkesiap. Akankah ia
membalikan pernyataanku tadi? Tapi diamnya seperti tidak biasa lama nian ia
menjaga mulutnya, ketika aku menatapnya tajam, ia malah memalingkan
pendangannya. Setelah lima menit mencerna kata – kataku, aku mulai mengerti
kalau ia pelupa, sontak aku minta maaf kepadanya.
“Ndut, aku minta maaf, aku lupa kau
sekarang agak pelupa.”
“Oh, tak apa, sebenarnya aku bingung kenapa
kau marahi aku? Sedangkan... aa sudahlah!”
Logatnya yang khas
batak membuatku tertawa kecil, sejak dulu setiap ku dengar kata “aa...
sudahlah” selalu aku tertawa walaupun saat ia mengatakan itu ia sedang marah,
dasar pemuda. Lama kami berbincang berdua dengan kebodohan masing – masing, si
gendut menuruhku langsung ke panggung utama hotel megahnya itu.
Setelah
sampai di belakag panggung aku mempersiapkan peralatan seperti biasa, dan aku
dikagetkan dengan mahasiswa yang ku temui didepan tadi, tiba – tiba ia memegang
pundakku dan menjulurkan tangannya, aku mahfum dengan apa yang ia maksud, ia
ingin berkenalan denganku.
“ Selamat siang pak “ katanya datar.
“ Siang, kamu yang tadi membangun aku di
depankan?” tanyaku serius
“ Oh, tadi. Iya benar pak” jawabnya
“ Kalau boleh saya tau, kamu ini apanya
Pak Miko ya?”
“ Pak Miko, itu kan yang punya hotel ini
pak? Saya bukan siapa – siapanya Pak Miko, hanya tadi waktu saya lewat koridor
hotel ini, saya disuruh menemui anda” terangnya
“ Kok kamu bisa tau yang dicari aku?”
“ Oh itu, kata Pak Miko, anda bawa gitar
dan gayanya kayak anak musisi gitu.” Ujarnya tenang
“ eem, jadi begitu..”
“ Ngomong – ngomong saya Jonathan Hardy
Pradana, panggil saja Nathan pak”
“ Nathan, nam yang bagus, aku Arai.”
Jawabku datar
“ Senang bertemu dengan anda pak, dan
maaf mengganggu pak. Selamat siang” terangnya sekaligus pamitan, dan langsung
pergi.
Lama
aku menanti untuk dipanggil, akhirnya namaku dipanggil sudah terbiasa dengan
situasi seperti ini, kutarik nafas dalam, menyimpanya di dalam dada lalu
keperut dan lepaskan dengan begitu situasi nervous
dengan cara ini aku sudah bisa menyembuhkan penyakit demam panggung kelas
aku yang ku alami. Tibalah aku di depan ratusan undangan yang datang dan aku
terkesiap melantunkan lagu yang telah ku siapkan tadi malam.
“Selamat siang semuanya.” Ujarku menyapa
undangan.
“Siang!!” Antusias uandangan yang hadir
membuat saya terkesiap untuk lagu ini.
“Sebuah tembang dari Richard Marx, Right Here Waiting For You untuk
kalian!!”
Sorak – sorai kegembiraan terpancar dari
mereka, lagu yang sudah melegenda ini hampir setiap orang yang ada disini
menyanyi bersama, semua undangan berdiri dan mulai berdansa dengan pasangan
mereka masing – masing.
Wherever
you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you... for you...
dengan do = C aku bawakan agak berat dan
akhirnya semua menikmati Right Here
Waiting dari Richard Marx yang ku nyanyikan dengan penuh penghayatan dengan
suara yang bercampur emosi. Maksudnya jelas agar sesuai dengan pembawaan
Richard Marx, Undangan memberikan Standing
Uplos kepadaku, sungguh suatu kebanggan tersendiri bagiku. Aku melihat
Nathan mahasiswa yang tidak jelas kenapa ada disini tadi ternyata seorang
Jurnalis dari Universitasnya, si Gendut menyalamiku tandda berterimakasih
padaku dan mengajakku menikmati hidangan yang sudah tersedia. Saat aku
menikmati minum dan berbincang – bincang dengan si Gendut dan tamu istimewanya,
“Pak Arai?” sesosok wanita memanggilku dengan
lembut.
“Iya? Maaf anda siapa ya?” tanyaku bingung.
“Nama saya Evita Larasati pak, saya sekertaris pak
Miko” jawabnya santun.
“Eh.. Mik, ni sekertarismu?” tanyaku pada Miko.
“Iya, memang ada apa?” tanyaya datar.
“Cantik, bukan main..” bisiku pada Miko.
“Wah kau suka padanya? Dia masih single kok cari hatinya jika kau mau!”
tegasnya padaku.
Setelah lama dengan
Evita berbincang – bincang soal karier aku
menawarkannya jalan ke taman hotel, lantas ku lihat wajahnya, ia menaikan alis
kanannya dengan senyum nakal aku tau kalau dia menyetujuinya. Jalan – jalan di
koridor membuatku semakin dekat dengan Evita, kuceritakan hal – hal menarik
dari kehidupanku, dari mulai awal manggung di cafe – cafe yang cuma dibayar
rokok, padahal aku tidak merokok, dan dibayar dengan kemarahan setelah satu
orang di cafe itu membuat onar, semua ku ceritakan padanya, lalu kulihat lama
sosok Evita, Evita pakai kacamata, cantik, cerdas terlihat dari cara bicara dan
wajahnya, wajahnya gabungan antara Lisa Loeb sama Kate Winslet, bodinya persis
Kate Winslet. Evita punya inner beauty, kenapa
begitu? Saat aku tadi dipanggil aku tau kalau yang memanggilku bukan wanita
biasa, dia juga punya semacam karisma
yang bikin orang menengok ke arahnya. Sampai aku di kamarku, aku ucapkan salam
perpisahan sementara kepada Evita dan dia mafhum jika aku mau istirahat.
Di kamar seluas sepuluh
meter persegi ini aku membayangkan sosok Evita yang entah dari zaman apa,
datang kepadaku dan hanya beberapa jam bisa langsung akrab layaknya seorang
teman dekat yang sudah lama kenal, aku membayangkan Evita saat dia tersenyum,
tiba – tiba aku teringat kata – kata si gendut “Ahh.. Sudahlah”, kalimat yang
menurutku selalu mengagalkan lamunanku. Ganti baju lantas aku tergeletak di
kasur yang langsung mengarah ke arah terbenamnya matahari, terlihat sore
matahari mulai meninggalkan bumi, dan sorepun berganti menjadi malam, setelah Adzan Magrib seseorang mengetuk pintu kamarku, ternyata Evita yang
mengantar makan malam ke kamarku, kulihat mukanya pucat pasi, dan tak seperti
biasa ia seperti menghindar dariku, jangan – jangan dia sakit? pikirku. Ku
pandangi dia lama saat berjalan meninggalkan kamarku, saat aku mau masuk
kudengar suara piring pecah, sontak tanpa berpikir aku berlari tergopoh – gopoh
ternyata apa yang kulihat benar dengan pikiranku tadi, Evita pingsan. Aku
langsung membawanya ke ruangannya bersama Miko yang telah aku panggil tadi,
serta beberapa karyawan dan aku melihat sosok Nathan tadi mendesak – desak
ingin mengetahui apa yang terjadi, tak seperti orang yang tidak pernah kenal,
terlihat pikiran Nathan terombang – ambing. Lantas aku membawa nathan ke ruang
tamu tempat pertama aku bertemu dengannya, dia menjelaskan keadaan Evita. Aku tercengang
ketika ia mengatakan dia adalah kekasih Evita, tapi setelah acara usai Nathan
memutuskan hubungannya dengan Evita, pantas saja ia terlihat pucat saat
mengantarkan makan malam tadi dan terlihat menghindar dariku, ku bujuk Nathan
agar memberikan alasan secara konkrit kepadaku agar bisa ku jelaskan kepada
Evita.
Malam berlalu, aku
masih menunggu Evita siuman, dengan si gendut yang tidur terlelap, aku masih
meikirkan perkataan Nathan. Aku mempertimbangkan keadaan Evita yang segitunya,
padahal hanya seorang lelaki ia bisa jatuh pingsan begini. Ak melihat tangan
Evita bergerak dan terlihat ia mau bangun, Alhamdulillah.
Akhirnya Evita siuman kubawakan segelas air putih semoga bisa meringankan
pikirannya, aku duduk disampingnya dan menanyakan apa yang sudah terjadi
padanya. Tanpa paksaan sedikitpun ia menjelaskan padaku dengan nada kesedihan
yang amat mendalam.
“Rai, sebenarnya aku sudah lama menjalin hubungan
dengan Nathan, tapi beberapa hari ini ia tidak menjawab SMS ku dan tidak
mengangkat Teleponku, aku khawatir ada apa – apa, lantas aku tak tau dari angin
mana, dia datang tadi malam. Aku melihat wajahnya datar, dan menghilang sesaat
aku menerima telepon dari Pak Miko, aku takut. Tapi aku harus memfokuskan pada
acara tadi, tak sengaja tadi setelah acara usai, tanganku ditarik keras oleh
Nathan, tiba – tiba dia marah marah kepadaku, aku tak tau apa yang telah
terjadi. Dan tanpa ku sengaja aku menampar Nathan, dan dia memutuskan hubungan
kami, sedih”
Tak terkira ternyata
kesalahpahaman antara seseorang akan berakhir seperti ini, namun aku mengambil
kesimpulan bahwa Evita memang tak tau apa – apa, dan aku memotivasi Evita agar
snantiasa profesional dengan pekerjaannya, karena dia masih cukup muda, masih
banyak waktu untuk memikirkan itu. Dan Evita memelukku dengan penuh kesedihan,
menangis dalam pelukanku. Aku hanya bisa diam dan membuatnya menyudahi
kesedihannya. Sebenarnya aku ingin menjadi pengganti Nathan tapi aku mahfum tak
ada seorang wanita yang mampu membuang masa lalunya begitu saja pastinya ia
butuh waktu, tapi aku belum siap jika aku harus ungkapkan saat ini juga.
Malam itupun berlalu,
dan pagi menjemputku artinya aku sudah harus berkemas untuk pulang ke rumah,
aku mencoba memberanikan diri mendekati Evita lagi, tapi rupa – rupanya aku
masih belum bisa measuk ke hatinya, tapi tetap aku harus mengatakannya.
“Evita boleh aku bicara sebentar kepadamu?”
“Boleh Rai, dimana di ruang tamu saja”
“Sebentar ya? “
“oke” bergegas aku ke ruang tamu dan menunggu Evita
datang
Beberapa
saat kemudian kulihat Evita datang, dan langsung duduk dengan senyuman yang
agaknya sudah menunjukan kemajuan. Terlihat dari caranya tersenyum dan
bicaranya aku tahu bahwa dia sudah mencoba melupakan Nathan. Aku menyaiapkan
diri dengan beberapa celaan darinya, penghinaan darinya, sangkalan darinya,
semua aku sudah terkesiap, dan sesaat kemudian aku mulai memberanikan diri
mendekatkan duduku disampingnya.
“Evita, bolehkan aku bertanya hal yang kiranya
membuatmu sedih kembali?” tanyaku penuh arti.
“Apa itu Rai?” ia terlihat bingung dengan
perkataanku.
“Evita a..aaku ..suka padamu! Apa kau mau menjadi
istri dari anak – anakku?”
“ARAI!! Apa kau tau aku baru saja terkena musibah,
lalu kau datang menambah pikiranku?” Evita muntab karena perkataanku.
“Seandainya kau tolak, aku tak marah kepadamu,
ungkapkan saja!” aku meyakinkannya.
“Rai!!, kau tahu kan kemarin aku bagaimana?” airmata
menggenang, pipinya dibasahi oleh airmata kesedihan yang begitu amat dalam.
Tanpa berpikir panjang,
ku buka tas gitarku dan membawakan sebuah tembang dari Peterpan, aku berpikir
semoga lagu ini sesuai dengan situasiku saat ini, dan hanya lagu ini yang bisa
ku mengucapkan, menerangkan, memberitahukan maksudku padanya. Sebuah karya dari
Peterpan dalam Album Bintang di Surga, sebuah lagu yang berjudul “Yang
Terdalam”, ku latunkan dengan penuh penghayatam dan tetesan air mata, walaupun
aku hanya 1 hari mengenalnya, aku merasa dekat sedekat kakiku dengan bumi,
kuharap Evita mau mengerti dan melihatku disini.
Takkan lelah aku menanti
Takkan hilang cintaku ini
Hingga saat kau tlah kembali
Kan kukenang di hati saja
Kau telah tinggalkan
Hati yang terdalam
Hingga tiada cinta
Yang tersisa di jiwa
Semua
karywan di ruang tamu diam gagap gampita, sunyi sepi setelah kulantunkan
tembang bang Aril, dan kuharap Evitapun mau menerima suratku, hanya kukatakan
beberapa patah kata pada surat itu beserta alamat rumahku dan aku hanya bisa
meninggalkan sebuah surat, sebuah hati untuk diingat.